E-LEARNING SMKN 1 TRUCUK

joyfull learning, everytime, everywhere

  • Laman

  • Opini Kamu

  • Untuk kita renungkan

    Barang siapa menghendaki kebahagiaan di dunia, maka haruslah dengan ilmu. Barang siapa mengehndaki kebahgiaan di akhirat, maka haruslah dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki keduanya, maka haruslah dengan ilmu (Al Hadits)

KOMPETENSI GURU DALAM RANAH PENDIDIKAN ISLAM

Posted by elearningsmkn1trucuk pada Juli 23, 2009

Oleh : M.Nuryadin Edy Purnama, S.Sos.I *)

Dalam tulisan ini  saya ingin mencoba menajamkan kembali perspektif pendidikan agama islam tentang guru. Bacaan ini penting untuk dieksplore pada tulisan ini mengingat kedudukan guru PAI sebagai bagian tak terpisahkan dari manifesto pendidikan Islam di sekolah umum. Profesi guru dalaam pendidikan Islam dianggap sebagai profesi yang mulia. Bahkan kedudukan seorang guru adalah setingkat  di bawah kedudukan para Nabi. Posisi guru yang mulia ini disebabkan peranya yang strategis dalam membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk sehingga orang lain selamat di dunia dan akherat.

Sehingga Implikasi logis dari positioning guru yang mulia ini adalah adanya penghormatan dari siswa kepada gurunya. Penghormatan ini di satu sisi akan menguatkan brand image guru yang memang diperlukan dalam proses pendidikan. Namun demikian, penghormatan  berlebihan kepada guru yang mewujudkan pada pengkultusan pribadi guru yang justru akan memasung sikap atau nalar kritis yang dimiliki oleh para muridnya.  Diskripsi tipologi relasi guru dan siswa dalam khasanah islam konservatif (salafi) dapat kita baca dalam buku Ta’lim al-Muta’alim yang di karang oleh Alzarnuji. Dimana kitab salafi  itu menjadi referensi penting  dalam dunia pendidikan, namun di  satu sisi  oleh para aktifis pendidikan kitab itu mendapat kritikan yang tajam, karena content dari kitab itu sebagian menggambarkan relasi guru dan siswa yang sangat sakral dan dibatasi, dimana seoarang siswa tidak boleh bertanya kepada guru sebelum guru memberikan waktu, kemudian larangan membantah kepada guru dll.

Dalam sejarah pendidikan islam peofesi guru memilki beberapa sebutan seperti al-qori ( qur’an reader ), yakni mereka yang ahli membaca dan mengajarkan alqur’an, al-muaddib (private teacher) yakni guru khusus bagi anak-anak khalifah atau para pembesar yang lain atau al-qos (story teller) yakni mereka yang profesinya menceritakan kisah-kisah masa lalu. Seiring dengan lahirnya lembaga pendidikan “ madrasah”,  guru sering disebut al-ustadz atau al mudaris sengkan asisten guru disebut al-mu’id, adapun istelah syeikh lebih sering dipakai untuk menyebut seorang yang sepuh atau alim dalam hal agama atau sebagaian juga sering disebut dalam dunia tasawuf.

Al-ghazali mengemukakan beberapa sikap (kompetensi ) yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu (1) menyayangi siswanya layaknya menyayangi anaknya sendiri , (2) meneladani sikap nabi Muhammad SAW dengan tidak menuntut  atau  menghrap upah/balasan  yang menjadi konsekwensi mengajar, (3) selalu memberikan nasehat kepada peserta didiknya,  (4) menjaga siswanya dari akhlak buruk dengan cara yang santun dan penuh kasih kasih sayang, (5) mengajarkan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa, tidak boleh mengajarkan materi yang terlalu berat bagi siswa, (6)mengimplemtasikan ilmu yang dimiliki, artinya antara perbuatan guru harus relevan dengan apa yang dikatakan atau diajarkannya,  dan (8) sabar, tawadu’ dan baik akhlaknya. Guru  yang kurang sabar berarti dia tidak pantas jaddi guru. Guru yang yang sombong tidak akan memberikan manfaat apapun kepada siswa justru akan menjadi candu yang mengobesesi tabiat jelek anak didiknya kedepan.

Ibnu Khaldum dalam mukadimahnya memberikan narasi tentang kompetensi apa yang harus dimilki oleh seorang guru yaitu perlunya guru memperhatikan “seni mengajar dan mendidik” seorang guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang diajarkan tetapi ia harus memilki pengetahuan tentang psiklogi anak mengetahui tingkat kesiapan belajar mereka dan bakat intelektual, sedangkan Ibnu Sina dalam perhatiannya tentang pendidikan  lebih menekankan pentingnya memperhatian perbedaan-perbedaan individual  (defferensial personality) untuk mengukur neraca pikir anak didik sehingga bisa menyesuaikan materi pelajaranya dengan kemampuan.

Dari beberapa pendapat tokoh pendidikan Islam diatas dapat disimpulkan  bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan kompetensi kepribadian guru .  Dalam pandangan mereka, kepribadian akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pendidikan. Dalam diKtum Arab dikatakan bahwa “Proses itu lebih penting dari hasilnya”.  Tampaknya  kompetensi guru dalam perspektif pendidikan Islam banyak yang sesuai dengan kompetensi guru yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan umum. Kesesuaian ini terutama menyangkut tentang kompetensi kepribadian guru.  Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan metodologi pengajara,  seperti yang dirumuskan para tokoh Islam diatas,  ada yang perlu disesuiaikan dengan teori pendidikan yang telah berkembang.

Disnilah dapat kita baca secara jelas bahwa substansi dari PAI dapat dikategorikan sebagai pendidikan nilai (value education), karena misi utamanya adalah menanamkan nilai Islam ke dalam diri siswa atau peserta didik, di samping memberikan bekal pengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, penekanan utama adalah pada pembentukan (charcter building) siswa agar sesuai dengan kepribadian sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Itulah sebabnya, PAI lebih menekankan pada ranah afektif dan psikomotorik daripada hanya sekedar kognitif seperti tercemin dalam kurikulum PAI tahun 1994.

Instrument guru merupakan salah satu instrument terpenting dalam pendidikan nilai karena posisinya sebagai sumber identifikasi nilai moral atau sumber keteladanan bagi peserta didik. Itulah sebabnya, keberadaan guru PAI menjadi sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Keberadaan guru PAI tidak bias digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain, karena guru PAI tidak semata-mata berperan dalam kegiatan transfer of knowledges saja.

Perspektif peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI), memimjam istilah Ivor K. Davies, seorang penulis program pengajaran terkemuka,  mengatakan bahwa pembaruan pendidikan tidak akan efektif tanpa mempersiapkan manusia yang akan membuat sistem pendidikan itu efektif.  Davies, juga berpendapat hanya ada satu cara mengubah sistem pendidikan menjadi efektif yaitu dengan cara mengubah manusia yang akan mengelola pendidikan yang bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan teori  Piaget (1973), orang yang telah mengabdikan dirinya untuk memahami proses belajar pada anak-anak, mengomentari bahwa latihan tenaga kependidikan adalah sangat penting dalam rangka pembaruan pendidikan. Selagi latihan-latihan dan proses pendidikan guru tidak memuaskan, kurikulum yang bagaimanapun baiknya dan teori belajar yang bagaimanapun hebatnya, tidak akan mampu membantu anak didik dalam belajar. Wallahua’lam bishshowab…

*) M.Nuryadin Edy Purnama, S.Sos.I adalah guru PAI SMK Negeri 1 Trucuk, pemerhati masalah pendidikan Islam, tinggal di Klaten, tulisan yang sama juga dimuat di http://www.smkn1trucuk.sch.id

Satu Tanggapan to “KOMPETENSI GURU DALAM RANAH PENDIDIKAN ISLAM”

  1. felix said

    ass’ ana copy catatan anda, buat literatur dalam penulisan proposan penelitain ana…. syukron

    wassalam

Tinggalkan komentar